Handi kecil adalah bocah kecil cupu, suka menangis dan juga
mudah pingsan ketika upacara bendera. Maka dari itu, aktivitas olahraga/ fisik
bukan hal yang paling disukai pada masa SD. Namun pertengahan kelas 6 SD ketika
saya hanya sekedar ‘formalitas’ berdiri di depan gawang ketika bermain sepak
bola bersama teman sekelas lainnya, saya pertama kali mendapat pujian dari
teman-teman karena beberapa kali melakukan penyelamatan di depan gawang. Hal
ini adalah momen pertama yang membuat saya mulai bisa menikmati bermain sepak
bola, sebagai pemain belakang.
Sewaktu SD itu pula, teman-teman sering bercerita bagaimana bangganya
mereka menonton langsung pertandingan PSIS Semarang langsung dari stadion, yang
kebetulan waktu itu PSIS memang sedang hebat-hebatnya dengan menjadi Runner-Up
Liga Indonesia bersama pemain asing popular saat itu yaitu DE PORRAS DAN ORTIZ yang
berasal dari Italia yang sepertinya masih sangat dicintai supporter hingga saat
ini. Momen itu juga yang membuat saya penasaran dan kemudian juga bisa
menikmati menonton pertandingan sepak bola meski hanya dari layar kaca. Iya
sepertinya saya bisa mencintai klub ini, semakin yakin ketika saya baru diberi
kesempatan menonton langsung pertandingan PSIS ketika kuliah di Semarang
sekitar 5 tahun dari awal saya menontonnya dari layar kaca. Saya jatuh cinta
dan candu dengan atmosfer di dalam stadion, bagaimana supporter saling BERADU NYANYIAN DAN KOREOGRAFI untuk mendukung masing-masing klub kebanggaannya.
Tak jauh dari itu, berlangsunglah moment Piala Dunia 2006 yang
merupakan pertama kali saya benar-benar menonton pertandingan sepak bola luar
secara utuh. Kebetulan waktu itu ada beberapa pertandingan yang mulai pukul
20.00 WIB sehingga masih bisa saya melihat bersama bapak tanpa harus begadang.
Di akhir turnamen secara mengejutkan Italia berhasil menjadi juara dunia
mengalahkan Prancis. Kemenangan itu sedikit kontroversial karena terdapat
moment Zidane dikartu merah langsung setelah MENANDUK DADA MATERAZZI karena
terprovokasi oleh perkataannya. Saya cukup menyesalkan kejadian itu karena nama
Zidane yang merupakan pesepakbola muslim yang memang berbakat luar biasa jadi
tercoreng karena ulah kejadian itu. Namun saya tak bisa sepenuhnya menyalahkan
Materazzi karena provokasi (selama tidak ketahuan wasit) itu tidaklah melanggar
rule of the game, hanya memang
menodai fair play saja dan saya juga
sering memprovokasi lawan –tapi tidak dengan perkataan seperti yang dilakukan materazzi, hanya dengan cara menarik baju atau melakukan dorongan
kecil hanya untuk membuat emosi lawan (tanpa ada niat menciderai) dan hanya
berniat untuk mengacaukan permainannya- ketika bermain futsal haha. Atas dasar
itu, meski mendukung AC Milan, saya tak begitu menjadi supporter italia
(seperti kebanyakan pecinta liga italia lainnya). Saya hanya mengikuti beberapa
pertandingan timnas italia karena sekedar ingin melihat pemain AC Milan yang
bermain di timnas Italia.
Percaya atau tidak, awal mula saya jatuh cinta pada AC Milan
adalah karena fenomena jatuh cinta pada pandangan pertama. Sesimple itu memang,
tak ada alasan apapun. Hanya karena 2 kali saya terbangun di dini hari,
menonton televisi dan melihat seragam kebanggaan merah hitam itu. Jujur saja
waktu itu saya kebingungan, bagaimana bisa ada pemain timnas italia dan brasil
bermain dalam 1 klub. Secupu itu memang waktu itu, namun dimomen ke 3 kalinya
saya kembali tak sengaja terbangun di dini hari dan kembali menonton AC Milan ketika melawan BAYERN MUNCHEN,
saat itulah saya memutuskan untuk menjadi Milanisti.
Ke 4 moment itulah yang membuat saya menyukai menonton, bermain
sepak bola, PSIS Semarang dan AC Milan. Anehnya kesemua moment yang mengubah
alur hidup saya itu terjadi di tahun 2006. Kenapa bisa suka dan bahkan bisa
bertahan sampai sekarang? Simple, karena semua hal itu bisa membuat darah saya
mendidih dan merasakan adrenalin yang membuat saya bersemangat melakukan hal
apapun.
Saya tak pernah sedikitpun menyesal dengan masa muda saya.
Sebelum menyukai sepak bola saya sudah kenyang dengan berbagai permainan
tradisional yang bahkan adik kandung saya tak bisa merasakan karena cepatnya
perubahan kultur sosial budaya. Meskipun tinggal di perumahan namun masa kecil
saya sempat merasakan bermain lompat tali, petak umpet, kelereng, gobak sodor,
layangan, engklek dan masih banyak lainnya. Setelah masa itu terlewat, saya
beruntung menemukan Sepak Bola yang membuat saya ‘diakui’ bahwa saya bukan lagi
bocah cupu tapi saya punya sesuatu yang bisa diandalkan.
Kemampuan sepak bola saya diasah dari lapangan plester yang
sering membuat kaki kapalan atau kuku terkelupas. Sebelum kelas 6 SD, di
kampung saya bermain sepak bola dengan teman-teman yang kesemua usianya diatas
saya yang tentu membuat saya sulit berkembang. Namun masuk masa SMP adalah masa
transisi menjadi saya yang bermain dengan teman yang usianya dibawah saya. Dari
sinilah kemampuan sepak bola saya berkembang pesat. Saya jadi bisa
mempraktekkan drible bola ala Ricardo Kaka’ dan Tendangan melengkung ala Andrea
Pirlo, walau kini diantara teman-teman futsal saya lebih dikenal mempunyai cara
bermain dan mencetak gol mirip Pippo Inzaghi.
![]() |
| Juara 2 Porsaklas Futsal Teknik Elektro 2014 |
Beberapa kenangan di masa SMA yang tak bisa dilupakan adalah
ketika kita hampir setiap hari bermain sepak bola, bisa sampai 3 kali sehari; waktu
istirahat pertama, waktu sepulang sekolah dan ditambah sore hari dengan teman
kampung. Saya ingat betul bagaimana begitu lihainya saya memasukkan bola
(dengan kaki) ke sela ring basket dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%
hingga membuat teman terkagum bahkan sampai di eluh-eluhkan oleh beberapa adik
kelas haha. Sepak bola begitu menjadi bagian terpenting dari hidup saya—setelah
melukis-. Sebenarnya saya pertama kali mengenal futsal sewaktu SMP, namun mulai
berkembang semasa SMA dan bisa mendapat juara 2 porsaklas tingkat jurusan
Teknik Elektro dimasa kuliah. Bahkan semasa SMA, tim kelas kami XII Ipa 7
menjalani lebih dari 30 pertandingan selama setahun melawan kelas/ tim lain
dengan rekor 1 kali kalah dan 1 kali seri. Waktu kalahpun kita tidak full team
dan terdapat tambahan orang dari XII Ipa 3. Satu hal yang membanggakan buat
saya karena ketika orang butuh striker murni untuk cetak gol, saya adalah nama
pertama yang dicari di kalas saya.
Buat saya sepak bola itu begitu penting. Saya mencintainya karena
saya selalu bisa bergairah dan bersemangat ketika melakukannya. Spiritnya bisa
saya rasakan di setiap aliran darah saya baik ketika melakukan atau menonton
pertandingan AC Milan. (salah satunya ketika mendengan anthem INI dan INI). Dan
satu hal yang sangat ingin saya capai adalah menjalankan rukun wajib supporter
yang ke 5 yaitu mendukung tim kesayangan langsung di stadion yang tentu saja
adalah San Siro menjadi destinasi yang setidaknya harus dikunjungi 1 kali
seumur hidup. Atas semua kejadian itu, bagaimana mungkin saya bisa menjauh dari
sepak bola? I love football very much.




0 komentar:
Posting Komentar